Hukum yang berlaku, terdiri dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga disebut tata hukum (sistem hukum). Suatu masyarakat yang menetapkan tata hukum bagi masyarakat itu sendiri dan tunduk pada tata hukum tersebut, disebut masyarakat hukum.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah detik 'penjebolan' tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum indonesia dan seterusnya ....
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Proklamasi berarti:
- Menegarakan Indonesia, menjadi suatu negara;
- Pada saat itu pula menetapkan Tata Hukum Indonesia.
Meskipun kita telah merdeka dan berdaulat dan telah pula dapat merubah sistem dan dasar susunan ketatanegaraan, namun dalam bidang hukum belum mampu mengubah sama sekali hukum yang sudah berlaku dalam masyarakat. Ketidakmampuan ini diakui negara, yaitu dengan selalu mengadakan peraturan peralihan dalam undang-undang dasarnya( Pasal peralihan adalah pasal yang berisi petunjuk mengenai peralihan dari tata hukum yang lama ke tata hukum yang baru).
Politik Hukum Indonesia
Pengertian mengenai arti politik hukum menurut pendapat dari Teuku mohammad Radhie, SH. (Prisma No.6 tahun ke II Desember. 1973) yang isinya sebagai berikut:
" Adapun politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan"
Didalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu pasal pun yang menyebutkan masalah politik hukum negara indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Undang-Undang Dasar 1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara indonesia dibawah UUD 1950, yaitu Pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut:
"Hukum perdata dan Hukum dagang, Hukum pidana sipil maupun Hukum pidana militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang menggangap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri".
Dari Pasal 102 UUD 1950 kita dapat mengambil kesimpulan bahwa negara Indonesia pada waktu itu menghendaki dikodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga Pasal 102 ini terkenal dengan sebutan Pasal Kodifikasi. Setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kita kembali lagi ke UUD 1945 dan UUD 1950 menjadi tidak berlaku, berarti Pasal 102 ikut tidak berlaku. Sampai tahun 1970-an berarti telah merdeka selama lebih seperempat abad lamanya, negara Indonesia belum mempunyai rumusan suatu politik hukum nasional. Baru pada tahun 1973 dengan terbentuknya MPR hasil pemilihan umum lembaga tersebut berhasil menetepkan Ketetapannya Nomor IV/MPR/73 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang di dalamnya secara resmi dan tegas digariskan politik hukum Pemerintah RI. Dalam hal ini Politik hukum kita selalu diperbaharui setiap lima tahun sekali, pada tahun 1978 tertuang dalam Tap. MPR No.IV sedang pada periode 1983 terdapat pada Tap MPR/II. Pada periode 1988 terdapat pada Tap. No. II/MPR/1988 dan Tap No. IV/MPR/1999. Sehubungan dengan amademen UUD 1945 yang ke-3 pada Pasal 3 yang berbunyi:
- MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
- MPR melantik Presiden dan atau/ Wakil Presiden
- MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau/ Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
Hukum Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Hukum perdata indonesia diwarnai oleh tiga sumber hukum yaitu :
- Hukum Adat
- Hukum Islam
- Hukum Perdata barat
Pada jaman kolonial, KUHPer hanya berlaku untuk golongan orang Eropa dan yang dipersamakan dan sebagian berdasarkan wewenang Gubernur Jendral ditetapkan golongan Timur Asing Tionghoa. Sekarang penggolongan ini telah ditiadakan, dan orang-orang Indonesia dianggap tunduk pada hukum dalam KUHPer ini atas dasar penundukan secara suka rela.
Buku KUHPer terbagi atas empat bagian :
- Buku I Tentang Orang
Didalamnya tercakup pengaturan tentang menikmati dan kehilangan kewarganegaraan, akta-akta catatan sipil, tempat tinggal dan domisili, perkawinan, hak dan kewajiban suami-isteri, persatuan harta kekayaan menurut undang-undang dan pengurusannya, perjanjian perkawinan, persatuan atau perjanjian kawin dalam perkawinan untuk kedua kalinya, perpisahan harta kekayaan, pembubaran perkawinan, perpisahan meja dan ranjang, kebapakan dan keturunan anak-anak, kekeluargaan sedarah dan semenda, kekuasaan orang tua, mengubah dan mencabut tunjangan nafkah, kebelumdewasaan dan perwalian, beberapa perlunakan, pengampunan dan keadaan tak hadir.
- Buku II Tentang Benda
Didalamnya terdapat pengaturan antara lain tentang kebendaan dan cara membedakannya, hak milik, kerja rodi, hak usaha, hak pakai hasil, pewarisan karena kematian, surat wasiat, pemisahan harta peninggalan, piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotik.
- Buku III Tentang Perikatan
Mengatur antara lain tentang asas-asas dalam perikatan, lahir dan hapusnya perikatan, jual-beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian untuk melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, bunga tetap, perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan, perdamaian.
- Buku IV Tentang Pembuktian dan Daluarsa
Buku IV mengatur antara lain tentang pembuktian pada umumnya, pembuktian dengan tulisan dan dengan saksi, pengakuan, sumpah dimuka hakim, daluarsa.
Tidak semua aturan dalam KUHPerdata masih digunakan. Banyak yang sudah dicabut dan banyak pula yang sudah digantikan dengan aturan lain. Buku I tentang orang misalnya, sebagian besar sudah tidak berlaku. Aturan tentang Perkawinan misalnya sudah digantikan dengan UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Begitu juga aturan dalam Buku II sebagian sudah dicabut dengan lahirnya UU No.4/1996 Tentang Hak Tanggungan dan UU No.42/1999 Tentang Fidusia.
Sedangkan untuk aturan dalam Buku III sepanjang mengatur tentang Perseroan Terbatas(PT) tidak berlaku lagi sejak diundangkan UU No.1/1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Disamping aturan yang ada dalam KUHPer di bidang hukum perdata terdapat aturan yang secara khusus mengatur tentang tanah adalah UU No.5/1960 Tentang UU Pokok Agraria yang menjadi aturan utamanya yang kemudian disusul dengan lahirnya UU No.4/1996 Tentang Hak Tanggungan.
Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah ranah dimana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari kejahatan yang dilakukan oleh warga negara lain. Hukum Pidana indonesia tunduk pada ketentuan pada Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), Ada dua macam pidana yang dianut oleh KUHP: Pelanggaran dan Kejahatan. Contoh perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran misalnya orang yang mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm. Sedangkan contoh dari kejahatan misalnya adalah membunuh dan mencuri.
Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara bertujuan untuk mengatur organisasi dan hubungan antar lembaga-lembaga negara. Dasar dari pengaturan sistem ketatanegaraan kita tentu saja adalah konstitusi kita yaitu UUD 1945.
Lembaga negara yang diakui dalam konstitusi kita antara lain:
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
- Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
- Lembaga Kepresidenan
- Mahkamah Agung (MA)
- Mahkamah Konstitusi (MK)
- Komisi Yudisial (KY)
- Bank Indonesia (BI)
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
- Pemerintah Daerah (Pemda)
Ada beberapa UU turunan yang mengatur tentang organisasi dan hubungan antar lembaga negara ini, antara lain:
- UU No.24/2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
- UU No.4/2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- UU No.5/2004 Tentang Mahkamah Agung
- UU No.24/2004 Tentang Komisi Yudisial
- UU No.31/2002 Tentang Partai Politik
- UU No.12/2003 Tentang Pemilihan Umum
- UU No.22/2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Syariah Islam di Aceh
Aceh adalah satu-satunya wilayah Indonesia yang memiliki sistem hukum yang berbeda. Sejak diberikan status ekonomi khusus kepada Aceh pada 2001 yaitu melalui UU No.18/2001 Tentang Otonomi khusus untuk Nanggroe Aceh Darusalam, Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) mempunyai kewenangan untuk menentukan sistem hukum yang berlaku diprovinsi tersebut, yaitu sistem hukum Islam atau Syariah islam.
Sebagai instrumen penerapan Syariat Islam tersebut, Pemerintah Daerah NAD mengeluarkan peraturan daerah, atau di Aceh disebut dengan Qanun. Qanun yang berhubungan dengan syarat antara lain Qanun No.11/2003 tentang Minuman Keras, Qanun No.13/2003 Tentang Maisir ( Judi ), Qanun No.14/2003 Tentang Perbuatan Mesum ( Kalwat )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar