Makam Syaikh Abdul Qadir Jailani di Baghdad, Irak. [foto: wikipedia.org]
Sayyid Abdul Qadir dilahirkan di Naif, di kawasan daerah
Jailan, Persia. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 470 H, kurang lebih
bertepatan dengan tahun 1077. Ayahnya bernama Abi Shalih Abd Allah Janki Dusti,
seorang yang taat kepada Allah dan mempunyai garis keturunan dengan Hasan RA.
Ibunya adalah Umm al-Khayr Fatimah binti Abi Abd Allah al-Sawma’i yangbergaris
keturunan dengan Husain RA.
Tidak mengherankan jika bayi calon sufi ini sejak lahir
sudah memiliki keunikan tersendiri. Menurut penuturan ibunya, bayi Abdul Qadir
selama bulan suci Ramadhan tidak pernah menyusu pada siang hari. Ia baru
menyusu bila waktu maghrib telah tiba. Tumbuh dan menetap di kota kelahirannya
hingga berusia delapan belas tahun, ia kemudian menimba ilmu di Baghdad dan
menetap di kota ini hingga wafat. Selanjutnya Jailan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari nama atau jati diri tokoh sufi ini, yakni Syaikh Abd al-Qadir
al-Jailani.
Pendidikan agama yang pertama digoreskan pada diri syaikh
sufi ini adalah kecintaan pada Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an dan
mendalami kandungannya pada Abu al-Wafa Ali ibn Aqli dan Abu al-Khattab Mahfuz
al-Kalwadzani. Kedua ulama ini berasal dari kalangan Mazhab Hambali.
Syaikh Abdul Qadir mempelajari hadits Nabi dari beberapa
ulama hadits terkenal pada zamannya. Salah satunya adalah Abu Ghalib Muhammad
ibn al-Hasan al-Balaqalani. Adapun pendalaman ilmu fiqihnya dilakukan pada
ulama fiqih Mazhab Hambali, seperti Abu Sa’d al-Mukharrami. Sedangkan bidang
bahasa dan sastra dipelajari dari Abu Zakarya ibn Ali al-Tibrizi. Sementara
itu, di bidang tasawuf diambilnya dari Hammad al-Dabbas.
Syaikh mulai memimpin majelis ilmu di Madrasah Abu Sa’d
al-Mukharrami di Baghdad sejak Syawal 521 H. Sejak itu namanya harum sebagai
seorang sufi yang zuhud. Majelis yang diselenggarakan di madrasah ini penuh
sesak dengan pengunjung yang haus mencari ilmu dan pencerahan ruhani. Madrasah
itu pun diperluas, namun tetap tidak dapat menampung hadirin. Akhirnya majelis
atau forum ilmiah itu diadakan di beberapa masjid di luar kota Baghdad. Setiap
Syaikh datang memberikan nasihat, yang hadir bisa mencapai tujuh puluh ribu
orang. Syaikh menjadi sufi yang menyejukkan umat dan menjadi sumber mata air
ruhani yang terus memancarkan kehidupan batin.
Murid-murid Syaikh dapat dikelompokkan ke dalam dua
golongan. Pertama, mereka yang hanya datang untuk mengikuti forum pengajian
yang dibimbingnya. Golongan ini tidak terusmenerus hidup bersama Syaikh. Kedua,
mereka yang hidup bersama Syaikh dalam waktu yang cukup lama. Golongan ini
menjalani kehidupan intelektual dan keruhanian di bawah bimbingan Syaikh.
Syaikh mendapat beberapa gelar kehormatan. Pertama, di
belakang namanya sering dilengkapi dengan sebutan Muhyl al-Din wa al-Sunnah.
Sebutan ini secara bahasa berarti tokoh yang menghidupkan agama dan Sunnah
Nabi. Melekat dengan gelar tersebut beliau juga mendapat gelar kehormatan Mumit
al-Bid’ah, yakni tokoh yang gigih menghapuskan bid’ah atau penyimpangan di
dalam agama dari berbagai perbuatan yang tidak sejalan dengan Sunnah Nabi.
Syaikh mendapat gelar kehormatan al-Imam al-Zahid, pemimpin
yang bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Gelar ini mencerminkan reputasinya
sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan ini sebagai modal untuk
meningkatkan kualitas ruhani, meraih nilai keabadian, dan mendapatkan kehidupan
ukhrawi. Dunia bukan tujuan pokok dalam hidup, bukan ujung dalam perjalanan dan
bukan pula segalanya. Syaikh berkata, “layanilah Tuhanmu dengan sepenuh hati,
dunia akan melayanimu.”
Syaikh sering dipanggil dengan gelar kehormatan al-Arif
al-Qudwah. Secara bahasa gelar ini berarti seorang yang patut menjadi teladan.
Gelar ini mencerminkan tingkat kesufian Syaikh yang sudah mencapai maqam Arif
bi Allah, yakni posisi sangat mengenal Tuhannya. Syaikh juga mendapatkan gelar
kehormatan Sultan al-Awliya’, pemimpin para wali.
Sebelum tahun 521 H, atau sebelum beliau berusia 51 tahun,
beliau belum menampakkan dirinya kepada khalayak ramai dan tidak perpikir untuk
menikah, karena menurutnya berkeluarga akan menghambat seseorang dalam
perjalanan menuju Allah. Setelah berusia 51 tahun beliau mengikuti sunnah Nabi
Muhammad SAW menikah dengan empat orang wanita yang baik dan taat kepadanya.
Dari perkawinan tersebut beliau dikaruniai anak sebanyak empat puluh sembilan
orang; laki-laki sebanyak dua puluh tujuh dan lainnya wanita.
Empat orang putranya menjadi orang-orang yang terkenal
karena pelajaran dan ilmunya. Mereka itu adalah: Syaikh Abdul Wahhab, putra
sulung. Ia mempunyai ilmu yang luas dan dalam. Ia diberi kewenangan menjaga
madrasah ayahnya pada tahun 543 H. Setelah ayahnya wafat, dialah yang
memberikan ajaran dan fatwa tentang syariat Islam. Ia memegang suatu jabatan di
dalam negara dan menjadi seorang yang sangat terkenal. Putra berikutnya adalah
Syaikh Isa, seorang guru hadits dan ahli fiqih yang agung. Ia adalah seorang
pengarang puisi dan juru penerang yang baik, di samping seorang penulis
buku-buku sufisme. Ia tinggal dan wafat di Mesir. Berikutnya, Syaikh Abdul
Razzaq, seorang alim dan hafizh hadist. Seperti halnya ayahnya, ia juga
terkenal dengan kejujuran dan kebenaran serta di dalam kesufian dan
popularitasnya di Baghdad.
Keempat adalah Syaikh Musa, seorang alim ulama yang ulung.
Ia pindah ke Damaskus dan meninggal dunia di sana. Melalui Syaikh Isa, tujuh
puluh ajaran ayahnya dalam buku Futuhul Ghaib sampai kepada kita. Sedangkan
Abdul Wahab adalah sumber dua ajaran terakhir dalam buku itu. Ia hadir ketika
ayahnya terbaring sakit, sebelum kembali ke Rahmatullah.
Adapun Syaikh Musa, ada dinyatakan di akhir buku itu, di
dalam ajaran ketujuhpuluh sembilan dan kedelapan puluh. Dalam dua ajaran
terakhir, ada disebutkan dua putranya yang hadir ketika ayahnya akan berpulang,
yaitu Abdul Razzaq (nomor tiga) dan Abdul Aziz.
Setelah Wali Allah ini tutup usia pada 10 Rabiul Akhir 561 H
dalam usia 91 tahun, anak-anak dan murid-muridnya mendirikan suatu organisasi
yang bertujuan menanamkan ruh ke-Islaman yang sejati dan membetulkan
ajaran-ajaran Islam di tengahtengah umat manusia. Organisasi ini disebut
‘Thariqah Qadiriyyah’, yang hingga hari ini terkenal dengan keteguhannya di
dalam memegang syariat Islam. Thariqah inipun telah memberikan andil yang besar
kepada Islam. Ada tiga ajaran dan nasehatnya yang terkenal di seluruh dunia,
yang paling agung adalah Futuhul Ghaib, yang kedua Fathul Rabbani, yaitu
kumpulan enam puluh delapan ajaran yang disusun pada 545-546 H. Sedangkan, yang
ketiga adalah qashidah atau puisi yang menceritakan peranan dan keberadaan
Aulia Allah, yang menurut istilah sufisme dinamakan Qasidatul Ghautsiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar