Nabi berbicara tentang tingkatan tertinggi yang dapat
dicapai selama hidup di dunia, dan pernyataan Beliau tentang hal ini disebut
hadist qudsi karena kata-katanya langsung dari Allah:
Hambaku tidak henti-hentinya mendekati-Ku dengan taat dan
tulus, hingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya, Aku akan menjadi
pendengarannya ketika ia mendengar, menjadi penglihatannya saat ia melihat, dan
menjadi tangannya saat ia menggapai, dan menjadi kakinya saat ia melangkah.
Bentuk ketaatan tertinggi adalah dzikrullah, yang juga
disebut ‘mengingat Allah atau menyebut-nyebut nama-Nya’. Pada salah satu wahyu
pertama Nabi diperintahkan:
Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan
penuh ketekunan. (Q.S. 73:8). Wahyu berikutnya mengatakan: Sesungguhnya shalat
itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Dan mengingat Allah adalah lebih utama
dari ibadah-ibadah yang lain. (Q.S. 29:45).
Bahwa mengingat Allah adalah penyembuh dari segala rupa
penyakit hati ditegaskan oleh Rasulullah: "Segala sesuatu yang berkarat
ada pengkilapnya, dan pengkilap hati adalah mengingat Allah."
Ketika ditanya tentang siapa tertinggi kedudukannya di sisi
Allah pada hari kebangkitan, Beliau menjawab: “Lelaki atau perempuan yang
senantiasa berdzikir (mengingat) kepada Allah." Dan saat ditanya, apakah
kedudukan orang tersebut lebih tinggi dari orang berjuang di jalan Allah,
Beliau menjawab: “Meskipun ia mengacungkan pedangnya kepada orang kafir dan
musyrik, hingga semuanya hancur dan pedangnya berlumuran darah, mengingat Allah
tetap lebih utama tingkatannya.”
Bahkan di sepanjang perjalanan pulang ke Madinah sesudah
kemenangan atas Mekah dan Hunayn, Nabi menuturkan kepada beberapa sahabatnya,
“Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Salah seorang
bertanya, “Apa jihad yang lebih besar itu, hai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Jihad melawan hawa nafsu.”
Jiwa terendah dinyatakan oleh Al-Qur’an, “Sesungguhnya jiwa
itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Q.S. 12:53). Jiwa yang baik, yaitu
kesadaran, disebut, “Jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri.” (Q.S. 75:2).
Jadi, yang disebut jihad yang lebih besar adalah, dengan bantuan roh keimanan
melawan jiwa rendah (hawa nafsu).
Sedangkan jiwa yang telah memenangkan pertarungan disebut
‘jiwa yang tenang’. Jiwa yang telah mencapai tingkatan tertinggi, yang dimiliki
orang-orang terkemuka (al-sabiqun al-awwalun), para hamba Allah (ibad Allah),
orang-orang yang dekat dengan Allah (al-muqarrabun). Jiwa yang sempurna ini
disapa Al-Qur’an dengan kata-kata.
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah engkau kepada
Tuhanmu dengan rida lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-Ku dan
masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. 89:27 – 30).
Sumber: http://baitulamin.org/flights/akhlak/230-pengkilap-hati.html BAITUL AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar