Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No.26/2000-sebelum 26 November 2000-maka pelanggaran HAM berat yang terjadi diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc . Pengadilan ini dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan peristiwa tertentu. Selanjutnya pembentukan pengadilannya melalui Keputusan Presiden-saat ini diistilahkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Dalam pengalaman pembentukan pengadilan HAM ad hoc, terdapat sejumlah masalah, antara lain:
- Menyangkut peran DPR
Peristiwa pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (atau lebih dikenal dengan sebutan TSS), tidak sampai ke proses pemeriksaan melalui Pengadilan HAM ad hoc disebabkan DPR periode 1999-2004 memandang peristiwa ini bukan pelanggaran HAM berat.
Dalam perkembangannya, rekomendasi DPR tersebut sempat dibahas DPR periode tahun 2005. Tepatnya pada tanggal 1 Juli 2005, Komisi III DPR sempat mengeluarkan pernyataan, menyetujui peninjauan kembali rekomendasi yang pernah dikeluarkan DPR periode sebelumnya. Namun per 20 Januari 2006, rekomendasi Komisi III ini belum diagendakan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR.
- Penolakan Pejabat TNI terhadap pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM
Salah satu alasan penolakan pejabat TNI adalah DPR belum mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sehingga pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM untuk keperluan penyelidikan dapat diabaikan.
Empat jendral TNI dan Polri pernah menolak panggilan Komisi Penyidik Pelanggaran HAM TSS yang diketuai Albert Hasibuan.
Bagaimana dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, khusus untuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi pada waktu sebelum tanggal 23 November 2000, pengusutannya dapat juga dilakukan berdasarkan UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Apa beda Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?
Ada perbedaan yang substansial antara mekanisme Pengadilan HAM dengan KKR :
- Sifat penyelidikan. Penyelidikan melalui UU Pengadilan HAM bersifat yudisial. Sedangkan penyelidikan melalui UU KKR bersifat non-yudisial. Untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk kedalam kategori pelanggaran berat HAM atau tidak, biasanya dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM ( Pasal 18 ). Sementara untuk mekanisme KKR penyelidikannya dilakukan oleh Sub-komisi Penyelidikan dan Klarifikasi ( UU No.27/2004 Pasal 18 ).
- Mekanisme Pengadilan HAM berfungsi untuk meminta tanggungjawab pidana atas kejahatan yang terjadi dengan mengadili dan menghukum pelaku serta memberikan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi kepada korban. Sementara mekanisme KKR lebih bertujuan pada rekonsiliasi, meskipun faktor pengungkapan kebenaran amat penting.
- Yuridiksi waktu. Mekanisme KKR hanya berlaku untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum November 2000 sama seperti Yuridiksi waktu untuk Pengadilan HAM ad hoc. Sementara untuk UU No.26/2000 berlaku baik setelah November 2000 maupun berlaku surut (retroaktif) sebelum November 2000.
Dimanakah letak hubungan antara Pengadilan HAM dan KKR ?
Hubungan kedua mekanisme ini-Pengadilan HAM dan KKR bersifat substitutif artinya kedua mekanisme tidak bisa digunakan untuk menangani kasus yang sama. Hal ini diatur pada Pasal 44 UU No. 27/2004, yang berbunyi:
"Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc"
Mekanisme Pengadilan HAM dan KKR hanya berhubungan ketika setelah dibuktikan terjadi pelanggaran berat HAM, si pelaku menolak kebenaran dan mengakui kesalahan. Ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (3) UU No. 27/2004:
"Dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat tersebut kehilangan hak mendapat amnesti dan diajukan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar